Selasa, 21 Agustus 2012

Love You in Silence


Bahagiaku teramat sangat sederhana, cukup melihat senyummu dalam pikiranku. Dan sedih pun sangat amat sederhana, merasakan lagi rasa sakit itu.
  
Lagi-lagi aku terbangun di tengah malam, kakiku mulai menggesek-gesekkan dirinya ke atas bed cover, malah sesekali ia membenturkan dirinya ke tembok. Setiap kali aku terbangun di tengah malam, aku selalu berdoa setiap kejadian buruk yang kualami hanyalah mimpi, dan malam itupun aku melakukannya. Namun aku tersadar lagi, aku dalam dunia nyata. Kejadian malam itu terus terulang hampir setiap malam.

Satu tahun yang lalu tepatnya, saat untuk pertama kalinya aku mengucapkan kata “cinta”, saat aku tak pernah seumur hidupku mengucapkannya sekali saja pada seseorang yang benar-benar kusukai. Dia lah yang pertama kali pernah mendengar kan kata itu mendarat dari bibirku. Aku ingat bagaimana saat itu, malu-malu aku mengucapkannya, tiba-tiba badanku refleks mengeluarkan keringat lebih banyak, beberapa bagian tubuhku gemetaran. Justru dia lah yang paling sering menyakitiku.

Aku tahu bagaimana caranya mencintai, terutama bagaimana cara mencintai dalam diam.

Sudah seminggu ia tak mengirimkan kabar, rasa khawatir itu tiba-tiba mengahampiriku. Tapi jujur aku tak pernah punya keberanian untuk mencari tahu keberadaannya pada teman-temannya. Aku tak berani memarahinya karena tak memberikan kabar. Karena selama ini cukup dalam diam aku mencintai seseorang. Hanya kata pasrah yang sering terlintas dipiranku. Berharap Tuhan mendengar setiap doaku, dan menitipkan salamku padanya.

Aku rindu. Meski rasa itu tak pernah tersampaikan, biarkan rasa itu ada dan tersimpan rapih di hati, hingga kelak saat waktu yang tepat, aku akan sampaikan. Dan mencintainya dalam diam pun sudah cukup.

Sakit itu mengajarkan aku banyak, tersenyum dalam kepahitan, tetap berdiri meski dua kaki ini sudah tak sanggup menopang badan, dan terus berharap.

Dua minggu, satu bulan, dua bulan. Merindukannya menyiksaku, andai ia tahu... rasa apa yang kusimpan untuknya. Diamku kini tak lagi jadi senjataku, aku sudah tak sanggup lagi. Ingin sekali berlari ke arahnya dan menggenggam tangannya erat, dan memintanya terus bersamaku. Tapi, kini semua itu hanya impian. 

Malam sempurna dengan kerlip bintang membentuk rasi-rasi bintang yang indah, di saat itu justru aku rasakan tamparan keras darinya. Ia bersama wanita lain!! Cukup membuat semua mimpiku sirna. Sakit itu, dengan siapa kini aku harus berbagi?? Sakit itu harus kutanggung sendiri.

Waktu berjalan amat lambat, satu, dua, tiga, empat, lima, enam... sebelas bulan. Ia benar-benar menghilang dari kehidupanku. Dan saat aku bertemunya lagi, kuharap tak ada kesedihan yang terpancar dari wajahku, tersenyum meski senyum kesedihan, paling tidak dia tahu aku baik-baik saja. Sakit itu, mengajarkanku banyak, tersenyum dalam kepahitan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar