Bahagiaku
teramat sangat sederhana, cukup melihat senyummu dalam pikiranku. Dan sedih pun
sangat amat sederhana, merasakan lagi rasa sakit itu.
Lagi-lagi
aku terbangun di tengah malam, kakiku mulai menggesek-gesekkan dirinya ke atas
bed cover, malah sesekali ia membenturkan dirinya ke tembok. Setiap kali aku
terbangun di tengah malam, aku selalu berdoa setiap kejadian buruk yang kualami
hanyalah mimpi, dan malam itupun aku melakukannya. Namun aku tersadar lagi, aku
dalam dunia nyata. Kejadian malam itu terus terulang hampir setiap malam.
Satu
tahun yang lalu tepatnya, saat untuk pertama kalinya aku mengucapkan kata
“cinta”, saat aku tak pernah seumur hidupku mengucapkannya sekali saja pada
seseorang yang benar-benar kusukai. Dia lah yang pertama kali pernah mendengar kan kata itu mendarat dari
bibirku. Aku ingat bagaimana saat itu, malu-malu aku mengucapkannya, tiba-tiba
badanku refleks mengeluarkan keringat lebih banyak, beberapa bagian tubuhku
gemetaran. Justru dia lah yang paling sering menyakitiku.
Aku tahu bagaimana caranya
mencintai, terutama bagaimana cara mencintai dalam diam.
Sudah seminggu ia tak
mengirimkan kabar, rasa khawatir itu tiba-tiba mengahampiriku. Tapi jujur aku
tak pernah punya keberanian untuk mencari tahu keberadaannya pada teman-temannya.
Aku tak berani memarahinya karena tak memberikan kabar. Karena selama ini cukup
dalam diam aku mencintai seseorang. Hanya kata pasrah yang sering terlintas
dipiranku. Berharap Tuhan mendengar setiap doaku, dan menitipkan salamku
padanya.
Aku rindu. Meski rasa
itu tak pernah tersampaikan, biarkan rasa itu ada dan tersimpan rapih di hati,
hingga kelak saat waktu yang tepat, aku akan sampaikan. Dan mencintainya dalam
diam pun sudah cukup.
Sakit itu mengajarkan aku banyak,
tersenyum dalam kepahitan, tetap berdiri meski dua kaki ini sudah tak sanggup
menopang badan, dan terus berharap.
Dua minggu, satu bulan, dua bulan. Merindukannya
menyiksaku, andai ia tahu... rasa apa yang kusimpan untuknya. Diamku kini tak
lagi jadi senjataku, aku sudah tak sanggup lagi. Ingin sekali berlari ke
arahnya dan menggenggam tangannya erat, dan memintanya terus bersamaku. Tapi,
kini semua itu hanya impian.
Malam sempurna dengan
kerlip bintang membentuk rasi-rasi bintang yang indah, di saat itu justru aku
rasakan tamparan keras darinya. Ia bersama wanita lain!! Cukup membuat semua
mimpiku sirna. Sakit itu, dengan siapa kini aku harus berbagi?? Sakit itu harus
kutanggung sendiri.
Waktu berjalan amat lambat, satu, dua, tiga,
empat, lima, enam... sebelas bulan. Ia benar-benar menghilang dari kehidupanku.
Dan saat aku bertemunya lagi, kuharap tak ada kesedihan yang terpancar dari
wajahku, tersenyum meski senyum kesedihan, paling tidak dia tahu aku baik-baik
saja. Sakit itu, mengajarkanku banyak, tersenyum dalam kepahitan.